Desa Bonjeruk, Lombok Tengah – 4 Mei 2025
Desa Bonjeruk, yang terletak di jantung Kabupaten Lombok Tengah, kini mencatatkan langkah penting dalam upaya menjadikan kuliner lokal sebagai bagian dari identitas global. Bertempat di pusat kegiatan desa wisata, Program Pascasarjana Universitas Mataram menggelar kegiatan Focus Group Discussion (FGD) bertema “Best Practice Internasionalisasi Makanan Lokal” pada Minggu, 4 Mei 2025. Kegiatan ini tidak hanya menjadi ruang dialog multipihak, tetapi juga momentum strategis melalui penandatanganan Nota Kesepahaman (MoU) antara Pascasarjana Universitas Mataram dan Pemerintah Desa Bonjeruk.
Membangun dari Akar: Sambutan Kepala Desa Bonjeruk
Kegiatan dibuka oleh Kepala Desa Bonjeruk, yang dalam sambutannya menekankan bahwa kekuatan desa terletak pada pelestarian identitas lokal yang dikemas secara inovatif. “Kami menyambut baik semua inisiatif yang berkontribusi pada kemajuan desa. Potensi kuliner lokal tidak boleh hanya berhenti di pasar tradisional, tetapi harus mampu menembus pasar dunia,” ungkapnya. Ia menyatakan dukungan penuh terhadap pengembangan desa wisata berbasis makanan lokal, serta menyampaikan komitmen pemerintah desa dalam menyiapkan infrastruktur dan SDM yang adaptif terhadap perubahan.
Dukungan Akademik: Sambutan Direktur Pascasarjana UNRAM
Direktur Pascasarjana Universitas Mataram menekankan bahwa kegiatan ini merupakan bagian dari pendekatan experiential learning yang diterapkan di lingkungan kampus. “Kami ingin membuktikan bahwa perguruan tinggi tidak hanya menara gading. Kegiatan ini merupakan bagian dari proses belajar mahasiswa kami, sekaligus bentuk nyata pengabdian akademik untuk mendorong internasionalisasi kuliner lokal Lombok,” ujarnya. Ia juga memperkenalkan beberapa program studi yang relevan dengan pengembangan pariwisata berkelanjutan dan gastronomi lokal, seperti Magister Perencanaan Pariwisata dan Magister Pengembangan Wilayah.
Pandangan Pemerintah Provinsi: Kreativitas dalam Keterbatasan
Dari Dinas Pariwisata Provinsi NTB, hadir perwakilan yang menyoroti pentingnya menjadikan makanan lokal sebagai daya tarik utama destinasi wisata. “Pariwisata tidak lagi hanya soal panorama, tapi juga tentang pengalaman rasa dan cerita di baliknya,” katanya. Ia menggarisbawahi bahwa NTB kini mulai beralih dari konsep Halal Tourism yang eksklusif ke pendekatan Muslim-Friendly Tourism yang lebih inklusif, membuka peluang lebih besar untuk promosi kuliner lokal yang otentik. Dalam menghadapi keterbatasan anggaran, ia menekankan perlunya kreativitas dan inovasi dalam membangun narasi kuliner daerah.
Pawon 21: Model Pemberdayaan Komunitas Perempuan
Salah satu sesi paling menarik datang dari Ibu Yuni, pengelola komunitas kuliner Pawon 21 yang beranggotakan ibu-ibu desa. Ia memperkenalkan konsep dapur komunitas sebagai ruang belajar bersama, produksi makanan khas, dan platform promosi berbasis media sosial. “Pawon 21 bukan sekadar dapur. Ini ruang budaya, ruang ekonomi, dan ruang pendidikan bagi perempuan desa,” ujarnya. Ia menjelaskan bagaimana kelompoknya telah memasarkan produk seperti ayam pelalah, sambal beberuk, dan jajan tradisional dalam kemasan yang higienis dan siap ekspor, tanpa kehilangan rasa dan identitas.
Chef Anton (IKA): Menjaga Rasa dan Cerita
Dari industri kuliner, Chef Anton dari Indonesian Chef Association (IKA) menekankan pentingnya menjaga orisinalitas rasa sebagai ciri khas utama makanan lokal. “Rasa adalah kearifan. Jangan diubah hanya karena ingin terlihat modern,” tegasnya. Ia juga mendorong penggunaan bahan baku lokal dan pengolahan yang memperhatikan prinsip keberlanjutan, serta pentingnya culinary storytelling dalam memasarkan produk makanan tradisional kepada wisatawan internasional.
Kontribusi Akademisi dan Mahasiswa: Regulasi dan Gastronomi
Dua akademisi dari Universitas Mataram, Ibu Tuti dan Ibu Santi, mengangkat urgensi pendekatan gastronomi dalam kajian makanan lokal. “Gastronomi bukan hanya teknik memasak, tapi ilmu tentang hubungan antara makanan, budaya, dan identitas,” kata Ibu Tuti. Sementara Ibu Santi menekankan pentingnya standarisasi menu lokal agar dapat diterima dalam standar penyajian internasional tanpa kehilangan unsur keunikan dan nilai budaya yang terkandung di dalamnya.
Mahasiswa Pascasarjana, Iwan dan Ade, dalam sesi refleksi menyampaikan pentingnya penguatan kelembagaan dan payung hukum yang jelas dalam pengembangan SDM pariwisata. Mereka juga mengusulkan skema magang dan pelatihan terpadu antara desa, kampus, dan industri agar ada kesinambungan antara teori dan praktik dalam pengembangan makanan lokal.
Refleksi Penutup: Prof. Jiang Na
Prof. Jiang Na, pengampu mata kuliah “Inovasi dalam Perencanaan Pariwisata” sekaligus inisiator kegiatan, memberikan penutup yang menyentuh. “Kita tidak harus menjadi seperti mereka untuk bisa dikenal. Justru dunia menunggu cerita baru — dan makanan lokal kita adalah cerita itu. Mari jadikan desa ini sebagai laboratorium hidup inovasi kuliner Nusantara,” ujarnya. Ia juga menyampaikan bahwa kegiatan ini akan menjadi bagian dari program riset kolaboratif jangka panjang yang melibatkan akademisi, mahasiswa, komunitas, dan pemerintah.
MoU UNRAM x Desa Bonjeruk: Awal Kolaborasi Berkelanjutan
Sebagai puncak kegiatan, dilakukan penandatanganan Nota Kesepahaman (MoU) antara Pascasarjana Universitas Mataram dan Pemerintah Desa Bonjeruk. MoU ini menandai dimulainya kerja sama strategis dalam pendidikan, pelatihan, penelitian, dan pengabdian masyarakat, khususnya dalam pengembangan potensi desa berbasis kuliner lokal. MoU juga mencakup komitmen pengembangan desa wisata berbasis digital, pelatihan SDM kuliner, dan pembuatan peta potensi gastronomi desa.
Joining Over 800,000 Students Enjoying Avada Education now
Become Part of Avada University to Further Your Career.